Selasa, 11 Oktober 2011

Ketika Cinta Tak Lagi Putih ~ Part 2


“ Aku hanya menjalankan kisah kehidupan yang tlah Tuhan gariskan untukku, lalu kenapa aku harus mencaci-Nya dan marah pada-Nya bila terjebak dalam kekecewaan yang mewarnai penggalan kisahku? Karena begitulah cara Tuhan mengajariku kesabaran dan rasa ikhlas.

” Jarum jam berdentang 12 kali dengan kerasnya di kamar Dinda. Dinda membelalakkan kedua matanya tiba – tiba, matanya menatap langit – langit. Dimiringkan tubuh mungilnya ke sebelah kiri. Tak dilihatnya siapa – siapa. Dinda hanya berada sendirian di dalam kamarnya malam ini. Dinda termenung. Dirasakan seluruh tubuhnya menjadi dingin, padahal malam tadi sebelum tidur Dinda tak menyalakan kipas angin di kamarnya. Kemana sahabatnya Putri? Bukankah malam ini dia bermalam di sini ? Dinda celingukan mencari Putri. Dilangkahkan kedua kakinya menuju jendela kamar. Dibukanya jendela kamarnya. Dirasakan tubuhnya semakin dingin, di tengoknya teras depan yang langsung berhadapan dengan kamarnya. Ditemukan pandangan matanya terhenti pada seorang laki – laki yang duduk disana dengan gelisah. Sejurus kemudian laki – laki itu membalikkan badannya, menatap Dinda. Dinda kenal sekali dengan wajah laki – laki itu. Sedang apa dia disini ? Tidakkah terlalu malam bertamu ke rumahku saat orang lain terlelap dalam mimpi ?. Laki – laki itu tersenyum pada Dinda. Lalu pergi meninggalkan teras tanpa bicara apapun. Dinda mengucapkan istighfar berkali – kali dalam hatinya. Semoga saja apa yang telah kulihat malam ini adalah laki – laki yang ku kenal. Ucap dinda. Dinda segera menutup jendela kamarnya lagi dan naik ke atas tempat tidur. Dilupakannya peristiwa di teras itu.

 **********

 “ De…adakah waktu sebentar saja..?” Asril berlari – lari mengejar Dinda di pelataran kampus. “ Assalamu’alaikum bang…! Ada apakah bang…?” Dinda memberi salam. “ Ikut abang yuk…? Kita jalan – jalan sebentar saja ke Plaza..? boleh..?” Asril memohon. “ Aku tak bisa bang.., ada tugas kampus yang harus kukerjakan di rumah.” sahut Dinda. “ De..tega nian kamu sama abang…, hanya kamu De…yang abang perlakukan istimewa seperti ini. Mau yach De…? Sekali ini saja De…!” Asril menghalangi langkah Dinda. “ Sekali ini saja yach bang…!” akhirnya Dinda luluh juga hatinya. Tak dikiranya tawaran Asril kali ini adalah jeratan yang sangat dahsyat untuk hidup Dinda. “ Silakan De…,” Asril membukakan pintu mobil pribadinya untuk Dinda. “ Aku benar – benar bahagia De…kamu tidak menolak tawaran baikku. Terima Kasih yach De…,” Asril memperhatikan wajah Dinda tanpa berkedip. Dinda tersenyum kecil. “ Ada yang hendak kutanyakan pada abang, bolehkah..?” tanya Dinda. “ Tentang apakah itu De…?” tanya Asril sambil mengemudi. “ Kenapa abang semalam berada di teras rumahku saat jam 12 malam…?” tanya Dinda menatap mata Asril dengan sorot mata penuh curiga. “ Tidak, De. Aku tidak bertamu ke rumahmu semalam, apa lagi jam 12 malam. Aku sedang tertidur di rumahku, De…,” jawab Asril. Dinda hanya terdiam saja. Pikirannya bertanya – tanya dan mencari jawaban. Ahh..mana mungkin yang kulihat bukan Asril..? Syaithon atau Ibliskah yang hendak mengganggu tidurku..? Ya Allah…lindungilah aku dari godaan Syaithon yang terkutuk, jauhkanlah aku dari orang – orang yang akan berbuat zalim kepadaku. Dinda berdoa dalam hati. Telepon seluler Asril berbunyi nyaring. Asril tetap asyik mengemudi. “ Angkatlah bang..tak baik mengacuhkan telepon dari orang lain, mungkin ada berita penting yang mau disampaikan kepada abang…,” ujar Dinda. Asril melirik ke ponsel yang di letakkan di sebelah kanan didekat jendela mobil. “ Sudahlah tak penting, cuma supir papaku. Paling – paling mau menanyakan keberadaanku sekarang.” Asril mengelak. Dindapun tak berani membantah jawaban Asril. Hanya menelan ludah saja. Begitu sombongnya Asril, menyepelekan orang lain yang begitu perhatian pada keselamatan dirinya. “ Kenapa…? Tak percaya kamu, De …kalau itu telepon dari supir papaku ?” “ Percaya bang..., tak ada untungnya kan aku berfikir buruk kepada abang ? hanya membuat susah hatiku saja.” Dinda mencairkan suasana yang dirasakannya tak enak. “ Baguslah De…kalau kamu berfikir seperti itu. Tetap percayalah padaku, De…aku tak mungkin membohongi kamu, karena aku sayang sama kamu, De.” Dinda tersenyum manis. “ Ya semoga saja ucapan dan hati abang selaras.” jawab Dinda. “ Tentu saja, De. Aku ingin melakukan apa saja untuk kamu, De…semua yang terbaik yang bisa aku berikan untuk kamu.” ucap Asril manis. Dan Dinda tak bisa menghindari lagi propaganda Asril telah menghujam jantungnya dengan sangat telak. Melambunglah perasaan Dinda saat itu. Telah terlupa janji hatinya untuk tidak menerima begitu saja kehadiran Asril masuk kedalam kehidupannya untuk kedua kalinya. “ Aku hendak balik ke kotaku esok pagi, aku mau mengurusi klub motor sportku. Ada event penting di pertengahan bulan nanti, aku harap ketika aku kembali kesini, kamu tetap menantiku, De.” pinta Asril pada Dinda. “ Insya Allah yach bang..!” “ Aku mau kepastian, De…,” kejar Asril. “ Akan aku pertimbangkan kembali permohonanmu, bang..!” “ Tidak..! aku tak mau ditimbang lagi, aku mau kamu tetap menantiku, hanya untuk hatiku. Bukan kepada hati yang lain.” Asril mulai memaksa hati Dinda. “ Baiklah abang.” Dinda pun mengalah. Entah apa yang ada didalam pikiran Dinda. Perempuan muda itu begitu tidak tega menolak dengan tegas permintaan dari seorang Asril. Ataukah Dinda memang bermaksud membodohi dirinya kembali untuk kedua kalinya ? begitukah adanya cinta yang bersemayam di hatinya, hingga rasa sakit yang pernah hadir dapat terhapus begitu saja ketika pesona Asril hadir kembali tanpa permisi.

 **********

 Sejak kepergian Asril meninggalkan kota Bandung, kehidupan Dinda menjadi berubah. Setiap hari kerjanya hanya melamun di depan jendela kamarnya. Memandangi foto Asril disaat Dinda hendak pergi tidur. Setiap hari hanya menanti ponselnya berbunyi hanya untuk mendengarkan suara Asril dari kejauhan. Begitu terus setiap hari. Setiap saat yang diingat hanyalah nama Asril dan Asril, entah apa yang meracuni pikiran Dinda saat ini, kehadiran Asril yang tiba – tiba dan kepergian Asril yang tiba – tiba pula malah membuat hidupnya seperti tak punya pegangan, tak ada kendali. Semuanya hanya terfokus pada Asril. Hari – hari yang dilalui bersama sahabatnya Putri pun menjadi renggang. Dinda lebih suka menghabiskan waktu di rumah, hanya untuk merenungi tentang Asril. Laki – laki itu seperti Syaithon…yang bisa hadir dimana saja dan kapan saja, bisa menjelma siapapun yang dia kehendaki, dan bertahta dengan tanduk di kepala dan gigi bertaring di hati Dinda. Kedudukan laki –laki itu dihatinya, telah mengalahkan kecintaannya pada Tuhan yang telah menciptakannya. Kemanapun kaki Dinda melangkah keluar rumah, semua orang yang dilihatnya hanyalah wajah Asril. Telah dibuat jatuh cinta rupanya gadis cantik itu. Gadis cantik yang selalu dikejar Asril dan dipermainkan hatinya ataukah Dinda memang mengizinkan sebagian hatinya untuk dipermainkan laki – laki tersebut ? jawabannya hanyalah cinta. Cinta Dinda menutup mata hatinya. Menutup akal sehatnya yang selama ini selalu digunakan dengan baik.

 **********

 “ Kenapa abang tak bilang padaku…?” Dinda menangis tersedu – sedu di ujung telepon genggamnya. “ Maafkan abang…takut menyusahkan hatimu.” Asril menyahut. “ Bagaimana keadaan abang sekarang..?” Dinda masih menangis. “ Kaki abang patah sebelah kiri, De…abang cidera fatal.” Asril memaparkan musibah yang dideritanya. “ Motor sport abang hancurkah..?” Dinda bertanya lagi. “ Ya..tapi tak mengapa, De. Yang penting abang selamat dari kematian. Itu saja yang abang syukuri.” Asril terbata – bata menjawab pertanyaan Dinda. “ Syukurlah bang…, abang masih bisa mensyukuri nikmat hidup dan sehat dari Allah. Tetap sabar yach bang…aku akan menanti abang sampai abang sembuh kembali.” “ Terima kasih banyak yach, De…tak sia – sia aku memilih kamu.” Setiap hari Dinda begitu khawatir dengan keadaan Asril. Setiap saat pula, Dinda menjalin komunikasi yang baik dengan Asril. Dicurahkannya segala perhatiannya untuk Asril, memacu semangat Asril agar bisa menghadapi hidup dengan optimis, mengerahkan segala usaha Dinda untuk meyakinkan Asril bahwa apapun yang terjadi di depan nanti, Dinda tetap bisa menerima Asril apa adanya. Begitulah cinta, kekuatan cinta telah membuat jarak mereka yang sangat jauh menjadi dekat. Keadaan yang tidak mengenakkan membuat pihak yang lain merasa ikut merasakan kesakitan dan penderitaan. Dan kekecewaaan yang mendalam atas kecerobohan diri sendiri tiba – tiba bisa menjadi penyesalan yang berujung. Karena seseorang yang hadir dalam hidupnya memberikan semangat hidup yang tulus dan suci.



 Tangerang, 15 Juli 2010

Ananda Maulida Toffanie ~ Chapter 2

Ananda kembali ke rumah dengan perasaan senang tiada terkira, ibunya yang sedari tadi menunggunya di depan pintu rumah, kini bisa bernafas lega. Ananda mengucapkan salam, ibunya menyambutnya dengan suka cita, putrinya yang dijadikan tulang punggung keluarga itupun mencium tangan ibunya. “ Ibu koq belum tidur ?” tanya Ananda sambil merebahkan tubuhnya diatas lantai yang beralaskan tikar usang. “

Menunggu kamu belum juga datang, ibu khawatir sekali nak.” Ibu Nanda segera memijat – mijat kaki Ananda. “ Ya, bu..malam ini, Nanda dapat rejeki yang tak terhingga. Alhamdulillah banget bu, Nanda bener – bener seneng bu.” Ekspresi di wajah Nanda begitu bahagia. Ibunya tak bertanya lagi, terus saja memijat kaki putrinya dan lengannya. “ Bu, laper nih, masih ada makanan yang bisa aku makan gak..?” “ Ada, Nanda. Sebentar ya ibu ambilkan untukmu.” Ibu Nanda beranjak ke dapur, mengambil piring berisi makanan yang sudah disiapkan oleh ibunya sejak beberapa jam lalu. “

Bismillahirohmanirrahim....allahumma bariklana fimma rojaktana waqina ajabanar.” Nanda memanjatkan doa sebelum menyantap makanannya. Ibu Nanda tersenyum bahagia melihat putri pertamanya membaca doa dan menyantap makanan itu dengan lahap. “ Ini, untuk ibu…ayoo buka mulut ibu, aku suapin.” Nanda menghampiri ibunya. Ibunya menggelengkan kepalanya. “ Ayoo dong bu, makan bareng Nanda, kenapa sih ibu tidak pernah mau makan malam…?” Nanda mengunyah makanannya yang berisi nasi dan sepotong tempe saja. “ Ibu udah bahagia lihat kamu pulang dengan selamat, nak. Tak ada kebahagiaan lagi selain bisa melihatmu sehat wal’afiat kembali ke rumah. Maafin ibu ya nak, belum bisa bahagiakan kamu.” Ibu Nanda menitikkan airmata.

 “ Ibu jangan sedih begitu dong, tar Nanda ikutan sedih juga, Nanda lagi seneng nih malam ini, ternyata Allah tuh tak pernah tidur yach bu, Dia dengar lho doa Nanda setiap kali Nanda mau berangkat nyanyi sama Deli, Endra dan Sofian.” “ Seneng karena apa sih nak ? ibu jadi penasaran dech.” Ibu Nanda akhirnya mau tau juga apa yang tengah dirasakan putrinya itu. Nanda meletakkan piring makanannya yang telah habis disantapnya. Duduknya merapat kesebelah ibunya. Dia memeluk tubuh ibunya erat, lalu mencium pipi ibunya. “ Nanda bahagia bu, sangatt bahagiaaaa…, Gak pernah yach sepanjang Nanda nyanyi malam – malam di jalanan ada yang perhatian sama Nanda. Orang – orang yang menonton Nanda biasanya hanya melemparkan uang recehan atau uang ribuan kedalam topinya Deli, tapi malam ini beda banget. Ada seorang gadis cantik bernama Athifa dan Fauziah yang memuji penampilan dan suara Nanda, yang hebatnya lagi bu, Nanda dikasih kartu nama sama Athifa. Dia mengundang Nanda minggu depan untuk menyanyi dan menari di acara ulang tahunnya. “ “ Oh yach…?” ibu Nanda terperanjat kaget. “ Iyaa bu…beneran! Anak orang kaya bu, ramah lagi sama Nanda, yang bikin Nanda seneng yach bu, Nanda bisa lihat gimana sih pesta ulang tahun anak orang kaya, Nanda khan gak pernah datang ke pesta ulang tahun, gak pernah juga merayakan hari lahir Nanda, Nanda boleh yach bu, minggu depan datang ke rumah Athifa ? boleh khan bu ?” “ Ya, nak. boleh, apapun kalau memang niat dan tujuan kamu baik, ibu izinkan. Janganlah kamu meminta bayaran sama mereka, khan kamu diundang kesana.” Ibunya mengingatkan putri kecilnya. “ Ohh..gitu yach bu ? tapi khan lumayan bu, untuk bantu ibu beli beras dan lauk, untuk adik – adik Nanda jajan disekolah.” Nanda merajuk lagi. “ Kalau kamu pamrih dalam memberi, esok hari kamu juga akan diperlakukan seperti itu oleh orang lain.” Ibunya menasehati. “ Masa sih bu, seperti itu ?” tanya Nanda. “ Iya nak, berbagi dengan sesama itu punya nilai yang lebih dimata manusia dan Tuhan. Tuhan lebih menyukai sesuatu hal yang suci, tulus dan ketulusan itu datangnya dari hati. ” “ Ohh…jadi kalau kita baik sama orang lain, Tuhan lebih sayang sama kita yach bu ?” Nanda mempertegas maksud ucapan ibunya. “ Ya, nak. Begitulah tepatnya. Dan Insya Allah rizki kamu akan mengalir deras seiring dengan kebaikan yang kamu berikan.” “ Amien yach bu,” Nanda tersenyum puas, sebelum berangkat tidur, diciumnya kembali pipi ibunya kanan dan kiri, lalu pamit untuk menunaikan ibadah sholat isya.

 ******************

 “ Kamu gak salah, Thifa, mau undang penyanyi kampung itu untuk isi acara ultahmu 2 hari lagi…?” tanya Fauziah dirumah Athifa, tidak jauh dari rumah Ananda. “ Ya gak salahlah, ini khan acara aku. Aku bosan tuh kalau setiap ulang tahun yang diundang Bunda anak – anak komplek sini, semuanya pada belagu, pada pamer. Lagi pula ngapain juga acara ultah di Kafe atau di Restaurant mahal ? buang – buang uang saja, tapi gak bermanfaat.” Athifa menggerutu. “ Memangnya kamu mau undang siapa sih di acara ultahmu kali ini ?” Fauziah memainkan netbook didepannya, mulai menjelajah dunia maya yang sangat digemarinya. “ Heran deh, browsing melulu, tar bengkak tuh tagihan internet papa mu.” tegur Athifa sambil menyeruput jus sirsak yang disediakan mba Desi tadi. “ Ya, biarin ajaa…khan papa ku yang bayar, bukan aku, hhehe…, heyy, jawab dong pertanyaanku barusan, Thifa.” “ Mau undang teman – temannya Nanda satu kampung.” sahut Athifa. “ Astaga! Gak salah dengar nih aku ???” Fauziah terkejut demi mendengar jawaban sepupunya itu. “ Aneh khan…??? Iyalah kamu aneh, Bunda juga aneh denger keinginan aku. Mau tau gak kenapa aku aneh ?” ledek Athifa. Fauziah menatap Athifa, meminta jawaban, mulutnya ditutupnya sendiri dengan tangan kanannya. “ Bagus deh tutup mulut kayak gitu, dengar yach saudariku…,” lanjut Athifa. Fauziah menganggukan kepala, tetap dengan posisi tangan kanannya menutup mulutnya sendiri, mungkin Fauziah gak mau memotong kalimat Athifa, karena Athifa tidak suka kalau ucapannya dipotong sebelum selesai berbicara. “ Karena bang Fauzan bilang, berbagi dengan sesama itu sangat indah. Kita bisa merasakan kebahagiaan sebagai pemberi, menerima itu bagus, tapi orang yang bisa memberi kepada orang lain yang tidak mampu itu, jauh lebih bagus.” “ Masa iya…? Tapi, kamu tak akan mendapat hadiah apapun dari mereka, Thifa. Mereka khan tak punya uang untuk membeli hadiah untukmu. Gimana tuh Thifa ?” Fauziah menghentikan aktifitasnya sesaat. Sambil menghabiskan sisa jus sirsaknya Athifa menarik nafas dalam – dalam, dihembuskannya perlahan. Sementara Athifa tetap menanti dengan tidak sabar. “ Hadiahku akan banyak nanti,” jawab Athifa. “ Dari siapa ?” “ Tuhan. Dia Yang mengatur hadiah untukku nanti.” Athifa tersenyum puas. “ Siapa yang bilang kayak gitu ? bang Fauzan lagi ? koq dia gak pernah sih ngomong kayak gitu sama aku ?” “ Mungkin pernah, cuma kamunya aja yang lupa, masuk telinga kanan, keluar telinga kiri sih.” sahut Athifa. Fauziah tertawa lepas, sepupunya tau aja kebiasaan jeleknya, sering tak mengindahkan pesan – pesan abangnya sendiri. Karena kesibukan bekerja dari kedua orang tua mereka, Fauzanlah yang dipercaya untuk mengawasi dan memberikan tips – tips buat pergaulan mereka sehari –hari. 

******************

 Hujan diluar rumah Ananda sangat deras sekali sore itu, sedangkan acara ulang tahun Athifa tinggal 1 jam lagi. Ananda sudah menanti dengan penuh kesabaran, dari tadi bibirnya tidak berhenti berkomat – kamit, seperti sedang memanjatkan doa. Deli, Endra dan Sofian hanya diam saja. Mereka sudah lebih dulu panik dan resah. Kenapa harus turun hujan sekarang sih disaat acara penting kayak begini ? Ananda ingin sekali menangis, namun ditahannya sekuat hati. Ibunya yang terus mendampingi putrinya, terus menghiburnya dari sejak 1 jam lalu. Ananda sudah berdandan sempurna. Dengan gaun yang dijahit ibunya 2 tahun lalu yang berwarna merah muda, Nanda sangat terlihat manis, rambutnya yang panjang terurai sebahu, dihias ibunya dengan bando berwarna putih yang dibelinya dipasar malam tempat Nanda tinggal. Sedangkan sepatu berwarna putih yang dikenakan Nanda, adalah sepatu yang dihadiahi Ayahnya yang bekerja sebagai buruh kasar di Pasar, itupun pemberian dari seorang ibu yang baik hati yang menggunakan jasa Ayahnya Nanda untu mengangkut sayuran atau belanjaan lain ke mobil ibu itu. Semuanya dikenakan Nanda dan terlihat serasi di tubuh Nanda yang imut – imut. “ Hujan telah berhenti nak, pergilah kalian…semoga kalian tidak mengecewakan undangan Athifa sore ini.” Ibu Nanda melepas kepergian Nanda dan ketiga orang temannya.

 ******************

Tamu undangan telah datang di rumah Athifa yang luas dan mewah itu. Mobil – mobil mewahpun telah
memenuhi lahan parkir dipekarangan rumah Athifa, mba desi sibuk melayani tamu – tamu istimewa yang sepertinya adalah relasi Ayah dan Bundanya Athifa. Disana pun telah hadir Fauzan, Fauziah dan kedua orang tua mereka. Mereka terlihat begitu suka cita menyambut kedatangan Ananda dan ketiga orang temannya yang masih sangat muda namun berbakat bermain musik dan bernyanyi. Ananda dan ketiga temannya mulai memasuki pekarangan belakang rumah Athifa, yang pantas disebut sebagai area kolam renang dan taman. Disana semua hidangan yang lezat telah tersaji dengan lengkapnya dimeja yang berukuran sekitar 3 meteran itu, Namun alangkah terkejutnya ketika Nanda menyaksikan pemandangan didepan kolam renang sana, telah duduk dengan rapi, dikursi yang berjumlah 30 buah itu, anak – anak kecil sebayanya yang berpakaian muslim itu, bagus, indah dan seragam. Ananda dan ketiga temannya tak bisa berkata apa – apa lagi demi menyaksikan pemandangan itu. “ Terkejut yach Nanda ?” sapa Athifa, tiba – tiba berdiri disampingnya. “ Iyaa Athifa. Itu semua adalah teman – teman dirumahku. Terima kasih banyak telah membawa mereka ke rumahmu yang bagus ini.” Nanda terbata – bata menjawab. “ Oh ya, ini perkenalkan Ayahku, dan ini Bundaku.” Nanda mencium tangan Ayah dan Bunda Athifa. Begitupun ketiga teman Ananda, mengikuti apa yang Nanda lakukan. Ayah dan Bunda Athifa bahagia banget, putrinya bisa berteman dengan Nanda dan ketiga temannya yang penuh sopan santun, Walaupun mereka berasal dari keluarga miskin, namun mereka tetap menjunjung tinggi rasa hormat pada orang yang lebih tua. Gak peduli walaupun mereka bukan saudara atau orang tua kandung mereka. “ Kamu beruntung yach Athifa, memiliki semua ini, dapat merayakan ulang tahun kamu dengan mengundang teman – temanku yang tidak mampu, jangankan untuk membeli baju sebagus itu, membeli hadiah untuk ulang tahunmu pun mereka tidak mampu. Athifa tersenyum. “ Ya, mereka adalah hadiah untukku. Kamu juga. Aku sekarang bisa punya teman banyak, tidak melulu dari kalangan seperti aku. Lain waktu, aku boleh yach main ke rumahmu bersama Fauziah ?” “ Sungguh ? rumahku jelek, adik – adikku juga norak, kalo lihat orang kaya ke rumahku, hhehhe.....,” Athifa dan Nanda tertawa bersamaan, hari yang bahagia, dengan akhir yang bahagia pula. 

******************

 “ Happy birthday yach, sahabatku………!” “ Ya ampun, Nanda……masih aja melototin album foto itu, udah 15 tahun lalu kali tuch.” Athifa mencubit pipi Nanda berulang – ulang. “ Iyaaa……seneng banget aku ingat masa – masa dulu,, gak sangka ajaa…aku bisa jadi penyanyi terkenal sekarang, dan kamu malah jadi pengusaha industri rekaman .” “ hhhehhe,,, iyalah dari kecil bergaulnya sama penyanyi,” sahut Athifa sambil menutup album foto yang dipegang Nanda. “ Semoga sehat selalu yach, Nanda. Doaku menyertaimu selalu, sahabatku.” “ Ayooo……mau aku traktir dimana ? Deli, Andra, Sofian, Fauziah, dan Fauzan udah nungguin kita dari tadi.” Athifa meraih lengan Nanda, menggandengnya keluar ruangan kerjanya. “ Dimana ?, aku khan ada skedul tampil live di Stasiun TV Swasta pagi ini.” Nanda bingung, karena tak menyiapkan acara apapun untuk hari spesialnya ini. “ Rumah Yatim Piatu, say, dibilangan Jakarta Barat. Ayooo lahh…kita berbagi kepada mereka, ku tunggu yach dimobil.” “ Hmmm,, kamu bohong khan soal skedul live di Stasiun TV Swasta itu ? iya khan, Thifa ??” Ananda penasaran. “ Soal tampil livenya sih gak bohong, Cuma tempatnya aja yang pindah say.” Athifa tertawa – tawa. “ Hmmm, Athifa…Athifa….dari dulu gak berubah, selalu penuh kejutan.” Mobil sedan mewah milik Ananda pun melaju kencang meninggalkan studio rekaman terbesar di kawasan Jakarta yang ternyata milik Athifa itu.


Tangerang, 7 Oktober 2011

Thanks To Fauzan Asril Hakim, Athifa Putri Shafira, Ananda Maulida Toffanie and Fauziah Amira Silmi.

Ananda Maulida Toffanie ~ Chapter 1

“ Ayolah kita pulang, Athifa !” Fauziah menarik lengan Athifa. Athifa menggelengkan kepalanya. Enggan beranjak dari kerumunan orang – orang yang berebutan melihat aksi gadis kecil yang bernyanyi dan menari dengan diiringi musik dibelakangnya. Gadis kecil yang menjadi tontonan orang – orang itu sebenarnya cantik, tapi karena gadis itu berpakaian kurang rapi dan kurang bersih, jadi terlihat kurang cantik wajahnya. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari aura gadis kecil itu. Entah apa, hingga membuat Athifa tetap saja memandangi penampilan gadis kecil itu hingga selesai menyanyi dan menari sendirian, dengan kepercayaan diri yang penuh. Musik dibelakang gadis kecil itu akhirnya selesai juga, lalu pemain musik yang memegang gitar segera melepas topi yang dipakainya dan langsung menghampiri penonton dan menyodorkan ke penonton yang sudah bersiap – siap memberikan uang koin atau uang lembaran rupiah ke dalam topi si pemain gitar yang berperawakan kurus dan tinggi itu. “ Terima Kasih banyak mas dan mba untuk pemberiannya malam ini, semoga malam ini menjadi malam yang teramat indah untuk mas dan mba sekalian, sampai ketemu lagi dengan grup ANTI SUSAH HATI yach di lain kesempatan, Selamat malam semuanya !” gadis kecil yang baru saja bernyanyi dan menari itu mengucapkan salam perpisahannya kepada penonton di sana. Penonton pun bubar detik itu juga setelah gadis kecil itu memberikan senyumnya, pemain gitar tersenyum – senyum karena mungkin saweran penonton malam ini sangat memuaskan hatinya. Mereka bertiga langsung menghitung uang pendapatan mereka barusan sambil berjongkok. Sedangkan gadis kecil yang bernyanyi itu hanya duduk saja di dekat mereka. “ Hei…kamu berdua siapa ? kenapa masih berdiri di situ ?” sapa gadis kecil itu kepada Athifa dan Fauziah yang masih memperhatikan gadis kecil itu. “ Boleh kami ke situ..?” tanya Athifa yang masih berdiri mematung memandangi gadis kecil itu. Gadis kecil itu mengangguk dan tersenyum. Athifa dan Fauziah segera menghampiri gadis kecil itu dan 3 orang pemain musiknya. “ Kalian berdua kenapa malam – malam masih di sini ?” selidik gadis kecil itu. Athifa mengulurkan tangannya kepada gadis kecil itu. “ Namaku Athifa, dan ini sepupuku…Fauziah namanya.” “ Ohh,” gadis kecil itu pun menyambut uluran tangan Athifa dan Fauziah. “ Namaku Ananda, panggil saja Nanda.” “ Bagus namamu.” Athifa memuji gadis kecil yang bernama Ananda itu. “ Terima Kasih atas pujianmu. Ibuku yang memberikan nama itu,” gadis kecil itu tersenyum. Ternyata, senyum gadis kecil itu sangat manis sekali. “ Aku suka suaramu, merdu. Dan aku juga suka tarianmu luwes dan keren abis, hhehhe…,” Athifa langsung membuka percakapan. “ Terima kasih sekali lagi, Athifa.” Gadis itu mengajak Athifa duduk di bangku taman tak jauh dari 3 pemain musik itu berada. “ Aku sudah kedua kalinya menonton pertunjukanmu, bagus banget. Kamu belajar nyanyi dimana ?” Athifa menatap Ananda. Ananda tertawa lepas. Fauziah heran sesaat. “ Serius ! bagus banget ! Mau gak datang ke ulang tahunku minggu depan ? Ayah dan Bundaku pasti suka lihat penampilan kamu.” Sekali lagi Ananda tertawa lepas. Fauziah bingung melihat sikap gadis kecil itu. Athifa dengan sabar, menanti jawaban gadis kecil itu. “ Baru dengar aja ada anak orang kaya mau manggil grup kita yang cuma grup penyanyi kampung.” Ananda tertawa lagi. “ Kita itu akan menjadi seperti apa yang kita pikirkan, Nanda.” Ananda terdiam. Lalu memandang Athifa tajam. Athifa tersenyum menatap bola mata Ananda. “ Siapa yang bilang ??” Ananda penasaran dengan kata – kata Athifa. “ Ayahku, My daddy. Kenapa ? ada yang aneh ?” tanya Athifa. “ Enggak. Hanya saja, aku gak mau menjadi penyanyi kampung sampai aku dewasa nanti, aku pengen banget jadi penyanyi yang mendunia. Yang terkenal dan bisa berguna untuk orang lain dengan bakatku itu.” Athifa tertawa, Fauziah juga. “ Lho koq kalian berdua malah tertawa ? menghina yach…?” Ananda cemberut. “ Ya gak lah, Nanda. Kita juga baru dengar ada penyanyi kampung punya cita – cita setinggi itu. Tapi suka banget nyebut dirinya penyanyi kampung.” “ Iya, aku cuma merasa gak pede aja. Kadang malu sendiri kalau ingat punya cita – cita setinggi langit, tapi gak aku imbangi dengan kepercayaan diriku, padahal banyak orang – orang yang bilang aku anak yang berbakat.” “ Kamu kelas berapa ?” tanya Fauziah. “ Kelas 5 SD, kalian ?” sahut Ananda. “ 1 kelas di atasmu.” jawab Fauziah. “ Lalu kalian kenapa ada disini malam – malam ?” Ananda mencari tahu rasa penasarannya. “ Nungguin Ayahku yang lagi berbelanja di seberang sana, karena ada tontonan di depan toko itu, maka kita berdua menghampiri kamu. Dan ini yang kedua kalinya kita menonton.” Ulas Athifa. “ Ohh gitu,” “ Itu ayahku sudah datang, kita pamit dulu yach, oh ya…ini nomer telepon rumahku, kabari aku ya besok untuk jawabannya.” Ananda mengambil sebuah kartu nama yang diberikan Athifa, kartu nama Ayahnya. Ananda melepas kepergian Athifa dan Fauziah dengan senyuman yang bahagia, gimana tidak bahagia ? di saat malam dan dingin menyergap, harus mencari uang dengan bernyanyi dan menari untuk membantu kedua orang tuanya, membiayai pendidikannya di bangku Sekolah Dasar, bersama 2 orang adiknya yang juga masih bersekolah. Lalu ada 2 orang bidadari cilik menawari tawaran yang menyejukkan hati 1 minggu ke depan. Tawaran ini adalah yang pertama kalinya dalam hidup Ananda, diundang untuk tampil di acara ulang tahun. Merayakan hari ulang tahun aja, Ananda belum pernah merasakannya, apalagi bisa jadi tamu di hari ulang tahun orang lain. Hmm,, Kalau Tuhan sudah memilih untuk mengubah kehidupan seseorang tiba - tiba, siapapun takkan bisa luput. Begitu Ibu Ananda pernah bilang.
Tangerang, 21 September 2011 Teruntuk Ananda Maulida Toffanie, Fauziah Amira Silmi semoga bahagia di alam sana. Teruntuk Athifa Putri Safira, semoga sehat selalu yach, jadi anak yang sholeha.

Sabtu, 25 September 2010

KETIKA CINTA TAK LAGI PUTIH ( Part 3 )

Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia.
QS. Yasin (36) : 82


“ Bagaimana keadaan Asril saat ini, De ?” pertanyaan Taufan memecah kesunyian.

“Kakinya di pen dan sedang dalam perawatan dokter pribadi di rumahnya, Ka.” Dinda melemparkan pandangannya ke kerumunan mahasiswa Fakultas Komunikasi yang tengah melihat jadwal Ujian Akhir Semester minggu depan di papan pengumuman dekat ruangan Rektor.

“ Kamu masih menjalin komunikasi dengan Asril…?” tanya Taufan, teman satu kelas Dinda.

‘ Ya…, tapi entahlah,” Dinda menggantung kalimatnya, lalu mencari tempat duduk di bawah pohon. Persis di depan kerumunan mahasiswa yang sedang berebutan melihat papan pengumuman.

Maksudmu…?” Taufan mengikuti langkah Dinda. Disandarkan tubuhnya dengan damai di pohon yang rindang itu.

“ Aku merasa aneh saja dengan ucapan Bang Asril kemarin sore.” Dinda mengeluarkan kantong tisu dari dalam tas hitamnya. Disapukannya ke wajahnya yang mulai berkeringat, karena terkena terik matahari.

“ Tentang apa, De ?” kejar Taufan.

“ Bang Asril meminta maaf padaku, karena banyak dosa, Ka.” Dinda memainkan ujung jilbabnya.

“ Tak usah dipikirkanlah, semua ucapan dia. Aku tak pernah yakin dengan perkataan apapun yang dia rangkai dengan manis bibirnya itu.” Taufan menatap mata Dinda. Dinda tertegun sesaat.

“ Cinta memang tidak rasional De, tapi setidaknya kamu bisa belajar dari rasa kecewamu di masa lalu dan kamu bisa berfikir logis untuk bersamanya kembali. Maaf aku tidak bermaksud mempengaruhi penilaianmu terhadap Asril…De.” Taufan mengungkapkan keraguannya tentang Asril.

Dinda masih mendengarkan ucapan Taufan dengan seksama.

“ Tak apa Ka. Teruskanlah…, aku mendengarkan Kakak.” Dinda menghela nafasnya pelan – pelan.

Laki – laki berperawakan kurus dan berkacamata minus ini hanya tersenyum.

“ Cukup komentarku, De. Aku tak berhak melontarkan pendapat tentang Asril. Aku tak mau berghibah. Tak baik rasanya.” Taufan bangkit dari duduknya.

“ Ayo…sudah waktunya kita masuk kelas. Nanti dosen mengira kita tidak hadir.” Taufan dan Dindapun berjalan beriringan menuju lift kampus.

**********

Bulan demi bulan berlalu dengan cepatnya kehidupan Dinda. Semua dilalui Dinda dengan bahagia, walaupun harus berjauhan dengan Asril. Semuanya terasa indah. Cinta diam – diam yang selama ini di jaganya dengan baik di dalam lubuk hatinya seakan memberikan harapan dan kekuatan yang akan membuahkan cinta yang berbalas indah pula dari Asril.

Asril begitu beda dari semua laki – laki yang pernah dijumpainya, yang pernah dikenalnya selama ini. Asril begitu memberikan janji surga dunia yang tak berkehabisan, yang tak berujung. Semua kata – kata indah yang dipersembahkan setiap kali berbincang dengan Dinda selalu seperti angin surga yang menyejukkan hati Dinda dan Dindapun selalu merasa terbuai dalam nyenyaknya mimpi – mimpi cinta semu yang ditawarkan Asril. Jalan terang menuju kebahagiaan cinta untuk Dinda seakan terbuka lebar, Dinda tak pernah lagi mempertanyakan kekecewaan hati yang pernah Asril hujamkan dahulu. Dinda begitu mudah memaafkan dan melupakan peristiwa yang sangat berbekas di hatinya itu. Baginya kesembuhan Asril saat ini adalah obat mujarab yang cukup mengobati kepiluan hatinya.

“ Wassalamu’alaikum Bang…!” jawab Dinda lembut. Mempersilahkan Asril masuk.

“ Apa kabar De..?” tanya Asril, laki – laki muda bertubuh tinggi, kekar dan berkulit putih.

“ Alhamdulillah Bang..aku sehat wal’afiat seperti yang kuceritakan kepada abang.” Dinda tersenyum bahagia. Laki – laki tampan yang selalu mengharap cinta padanya itu sekarang telah berada di hadapan wajahnya. Jelas tergambar di raut wajah Dinda dan Asril, segumpal aura bahagia, setelah beberapa bulan lamanya tidak bertemu.

“ Kamu telah menepati janjimu, De.” ucap Asril dengan tersenyum.

“ Ya..bang..seperti janjiku.” Dinda membalasnya dengan senyum. Mereka berdua duduk di teras rumah Dinda.

“ Kedua orangtuamu memangnya sudah menyetujui hubungan kita dekat lagi, De..?” tanya Asril.

Dinda menggelengkan kepalanya. Lalu menundukkan wajah.

“ Kenapa kamu masih mau menantiku, De..?”

“ Tak tahulah aku, bang…, abang begitu berbeda dari yang lainnya, mungkin itulah yang membuat aku bertahan pada pendirianku dan maju selangkah demi selangkah untuk bersama abang.” Dinda masih menundukkan wajah.

“ Tak pantaskah aku untuk mencintaimu, De…hingga kedua orang tuamu tak memberi restu padaku?”

“ Maafkan mereka bang…bila dahulu telah bersikap tak setuju pada abang. Mereka hanya ingin memberikan yang terbaik untuk aku. Terimalah pendapat mereka, bang…bila abang benar – benar menyayangiku.” Dinda menutup kedua wajahnya dengan tangannya. Dan tak bisa dihindari lagi, butiran air mata pun mulai berjatuhan di kedua pipinya yang tirus.

Asril memberikan sapu tangannya pada Dinda.

“ Hapuslah air matamu, De…tak kuasa aku melihatmu menangis. Tak usahlah Ade bersedih. Lupakanlah ucapan abang tadi. Maaf yach de…,” Asril merayu Dinda untuk menghentikan tangisnya.

Dinda menghapus butiran kristal bening di kedua pipinya. Sekarang matanya memerah. Diusapnya kedua matanya dengan sapu tangan dari Asril.

“ Ini bang..makasih yach.” Dinda memberikan sapu tangan itu kepada Asril.

“ Simpanlah De..itu untukmu.” jawab Asril.

“ Aku pamit dulu yach..tak enak rasanya berlama – lama di sini, nanti kedua orang tuamu bisa marah padaku.” Asril bangun dari tempat duduknya. Tiba – tiba ponsel Asril berbunyi. Asril mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana panjangnya.

Asril melihat layar ponsel sejenak, lalu didiamkan sebentar.

“ Koq tidak abang jawab..?” Dinda menegur Asril, melihat Asril yang menjadi grogi sikapnya.

“ Temanku.”

“ Siapa, kenapa abang tidak jawab panggilannya ?”

“ Tak pentinglah.”

Dinda menjadi heran. Ponsel Asril masih terus berbunyi. Akhirnya Asril menjawabnya juga.

“ Ya..hallo…, iyya..aku datang kesana. Tunggulah.” Asril menjawab pertanyaan si penelepon dengan terburu – buru.

“ Aku pamit dulu yach, De…ditunggu temanku di rumahnya Handri.”

Dinda hanya menganggukkan kepala. Lalu mengantar Asril ke depan pagar rumah Dinda. Asril segera menghilang secepat kilat bersama mobil jeep pribadinya dari pandangan Dinda yang masih bingung dengan sikap Asril barusan.

**********

“ Dia kembali lagi..?? huhh…ku pikir dia telah mati karena kecelakaan itu.”

“ Putri, tak pantaslah kamu berbicara seperti itu. Ucapan kamu adalah doa untuknya.” Dinda mengingatkan Putri sahabatnya yang sedang bertamu ke rumahnya.

“ Ya biarkan saja. Memang dia pantaskan untuk mati ? dia telah banyak menyakiti kamu, lalu kamu dengan mudahnya memafkan dia. Sungguh mulia sekali kamu, Dinda. Tak ingatkah kamu betapa dia sangat melukai hati kamu dahulu…?”

“ Sudahlah Putri. Aku telah memaafkan dia. Allah saja bisa memaafkan umat-Nya, mengapa aku tidak bisa memaafkan saudara muslimku sendiri ?”

“ Saudara..? mana ada saudara yang menyakiti hati saudaranya sendiri, Dinda ?”

“ Terus saja kamu mencacinya, Putri. Menghina dan merendahkannya. Itu tidak lebih baik buat kamu. Sama saja kamu dengannya. Sama – sama tak terpuji akhlaknya. Kita berduapun belum tentu lebih baik dari Asril di mata Allah, bukan ?” Dinda menatap mata Putri tajam.

“ Berani ambil resiko rupanya kamu, Din..semuanya begitu mudah untuk hatimu.”

“ Biarlah Allah yang membuktikan kebenaran dan kesalahan Asril dan biarlah Allah yang mengadili Asril. Kita tak pantas memberi hukuman padanya. Hukuman Allah lah yang Seadil – adilnya, Putri.”

“ Baiklah Dinda..aku hanya berdoa supaya kamu tidak terseret kembali dalam tipu muslihat Asril mempermainkan cintamu dan menyakiti hatimu kembali.”

“ Amien Ya Robbal Alamin…semoga Allah mengabulkan doamu dan itu adalah sebuah kebaikan untukku.”

“ Jagalah dirimu baik – baik, Dinda. Begitupun hatimu. Hanya Allahlah saja yang kamu jadikan cinta sejatimu. Dan kamu akan merasakan bahagianya dunia dan akhirat, begitulah Ibuku pernah berpesan padaku.” Putri mengingatkan Dinda sekali lagi. Dinda tersenyum kecil. Perselisihan paham di rumah Dinda pun akhirnya berakhir, seiring Putri berpamitan pulang.

**********

“ Perempuan gatal !” tiba – tiba Dahlia menampar pipi kanan Dinda dengan kerasnya.

Dinda mengaduh kesakitan. Tak dibalasnya tamparan cewek cantik bemata coklat itu.

“Perempuan sialan ! perebut cowok orang ! wajah saja kau cantik, tapi kelakuanmu mirip hewan.” Dahlia memaki Dinda.

“ Simpan saja mulutmu yang kotor disana. Di tempat pembuangan sampah. Apa yang kamu tuduhkan itu tak benar !!.”

“ Halah..!! mengelak pula kamu rupanya yach..? sudah tertangkap basah pernah menelepon cowokku, Asril. Masih juga membela diri.”

“ Aku buktikan kebenarannya sekarang. Aku akan hubungi Asril sekarang, dan dengarkanlah langsung dari bibirnya itu, siapa aku ini di hatinya !.”

Dinda segera menghubungi Asril dengan ponselnya, sedangkan wajah Dahlia masih memperlihatkan kemurkaan yang besar pada Dinda. Dahlia adalah kekasih Asril yang dipacari Asril, setelah Asril mengalami kecelakaan. Mereka berdua bertemu di Rumah Sakit tempat Asril dirawat, dan Dahlia menjadi rajin menjenguk Asril sejak Asril menyatakan cintanya pada Dahlia. Dan Dahlia pun menyambut cintanya Asril.

Dahlia menemui Dinda di kampusnya saat ini, karena pernah menemukan nomer ponsel Dinda di ponsel Asril. Dindapun bersepakat dengan Dahlia untuk bertemu di kampusnya, untuk saling memberikan penjelasan tentang status hubungan mereka dengan Asril.

“ Abang dimana…?” tanya Dinda memulai percakapan dengan ponselnya. Dahlia mendengarkan saja dengan penuh perhatian. Gadis cantik yang berambut hitam kecoklatan itu masih menunjukkan wajah yang masam.

“ Hai Dinda sayang..! abang lagi di rumah teman nih, apa kabar kamu sayang hari ini?” suara Asril begitu khas melalui speakerphone ponsel Dinda. Terbelalaklah mata Dahlia demi mendengar ucapan Asril di seberang sana.

Ponsel Dinda langsung direbut Dahlia. Dahlia pun mencaci maki Asril dengan kata – kata yang sangat kotor sekali. Dahlia benar – benar kecewa telah dibohongi Asril. Setelah melampiaskan amarahnya yang membabi buta pada Asril, Dahlia berpamitan pada Dinda tanpa pertengkaran lagi. Dinda pun bersyukur karena peristiwa yang sangat memalukan itu terjadi di belakang kampusnya. Tak ada satu orangpun yang tahu.

**********

“ Aku kasihan sama kamu, De. Ketika 1 minggu lalu kamu memberitahukan aku tentang Asril dan Dahlia.” Haris merapikan buku – buku pelajarannya yang berhamburan di atas meja perpustakaan.

“ Terima kasih banyak Ka, atas atensi Kakak padaku.” Dinda membantu Haris merapikan buku.

“ Ikut aku yukk..ke warnet depan kampus. Akan kutunjukkan sesuatu padamu, De.” Haris melangkah keluar ruangan Perpustakaan kampus.

“ Tentang apakah itu Ka..?” tanya Dinda mengikuti dari belakang laki – laki yang masih menjadi teman satu kelasnya dan juga teman Asril.

“ Facebook Asril. Disana kamu bisa lihat bagaimana Asril memiliki 3 akun sekaligus. 1 akun yang kamu ketahui menggunakan nama Asril, sedangkan 2 akun menggunakan nama samaran hanya dengan 1 tujuan.”

“ Tujuan apa Ka..?” tanya Dinda masih tak mengerti dengan apa yang telah dibicarakan Haris.

“ Untuk menipu cewek – cewek cantik, memperdayai mereka, memacarinya secara bersamaan dan meninggalkannya secara tiba – tiba, bila ia telah mencapai tujuannya.”

“ Maksud Kakak…Bang Asril playboy..?? Astaghfirullah al adzim !!”

“ Tepatnya adalah psikopat cinta, De. Ada satu cewek yang telah dibuatnya gila. Cewek itu sampai kehilangan akal hanya karena tergila – gila pada Asril. Dia kini sedang dirawat di Rumah Sakit Jiwa secara intensif. Aku tahu semua dari komentar yang dituliskan di dinding facebook Asril itu. Tak ada yang luput dari pengawasanku, De. Teman cewek itu yang menuliskannya di dinding Facebook Asril, agar Asril menjenguknya, karena cewek itu selalu memanggil – manggil nama Asril saat mengamuk.”

“ Ya Allah, seperti itukah bang Asril…? Menghalalkan segala cara untuk memperdaya perempuan – perempuan tak berdosa..?” tanya Dinda.

“ Asril tak mau hidupnya sepi dari perempuan – perempuan yang mengelilingi hidupnya, makanya segala cara ia tempuh agar perempuan – perempuan itu tidak lari meninggalkannya. Aku telah mendatangi perempuan yang telah gila karena cinta dengan Asril itu, De. Sangat mengenaskan keadaannya.”

Mereka berdua pun telah memasuki ruangan warnet, Dinda dan Haris mulai mencari akun Asril di Facebook.

Tak berapa lama kemudian, mereka telah keluar dari warnet.

***********


Mata Dinda telah basah dengan air mata yang menyusuri kedua pipinya. Telah 3 hari ini Dinda menghabiskan waktunya berdiam sendirian di kamar. Tak mau makan, minum apalagi sholat 5 waktu. Dinda menjadi anak yang sulit diajak bicara oleh kedua orang tuanya. Yang dilakukan Dinda hanyalah menyetel musik dengan suara yang keras sekali. Hingga terdengar keluar kamarnya. Kedua orang tua Dinda telah berupaya membujuk Dinda untuk menghentikan aksi mogok makannya itu, begitupun Putri, Taufan dan Haris ikut pula membujuk Dinda. Namun, tak membuahkan hasil.

Sesekali Dinda meneriakkan nama Asril dengan ucapan yang sangat kasar dan kotor. Diumpatnya nama laki – laki itu sekejam – kejamnya. Dinda telah kehilangan kendali sejak Haris membuka kedok Asril sebenarnya, bahkan Dinda pun tanpa banyak bicara lagi langsung menghubungi Asril dan menceritakan tentang apa yang telah dilihatnya di akun facebook Asril. Begitu menyakitkan buat Dinda yang selama beberapa bulan lamanya membangun kepercayaan kembali tentang Asril, dan menyakitkan juga buat sang psikopat cinta yang harus rela ditinggalkan kekasih pujaan hatinya, yaitu Dinda.

Kedua orang tua Dinda tak sabar lagi melihat putrid tersayangnya mengurung diri di dalam kamar, tanpa makan dan minum. Tanpa membuang waktu lagi, kedua orang tua Dinda mendobrak pintu kamar Dinda.

Dinda telah lemah lunglai berada di pojok kamar, dengan keadaan yang sangat kacau dan mengenaskan. Rambutnya acak – acakan, dan tak mengenakan jilbab pula. Pakaian yang melekat di tubuhnya telah berantakan. Isi kamarnya pun sudah seperti kapal pecah, semua berhamburan di lantai. Taufan dan Putri yang hadir disana, hanya meneteskan air mata kesedihan pada sahabatnya, menunjukkan rasa prihatin yang mendalam. Cinta tulus Dinda pada laki – laki bernama Asril, hanya berujung memilukan.

**********

Dinda dibawa kedua orang tuanya ke Psikiater, untuk diperiksa kejiwaannya lebih lanjut. Selama 3 bulan Dinda harus menjalani hypno terapi yang intensif dari Dokter kenalan ayah Dinda.

Setelah selesai menjalani hypno terapi, Dinda harus menjalani lagi terapi islami dari guru ngajinya, dengan banyak – banyak berzikir dan sholat tahajud. Semua dijalani Dinda dengan kesungguhan hati, karena Dinda telah mengalami guncangan yang sangat dahsyat dalam jiwanya karena cinta yang tidak wajar yang pernah Asril hujamkan diam – diam pada Dinda. Asril telah mengendalikan jiwa Dinda secara emosional dan berharap Dinda takkan pernah meninggalkannya apapun dan bagaimanapun Asril meyakiti hati Dinda., begitulah resume yang didapat dari psikiater dan konsultan spiritual Dinda.

Berbulan – bulan Dinda harus menjalani pengobatan yang diberikan oleh kedua orang tuanya, namun Allah jualah yang menentukan takdir manusia. Manusia boleh berusaha sekuat hati, sekuat tenaga, namun bila Allah telah berKehendak, maka tak ada satu orangpun yang bisa lolos dari Kehendak-Nya.

**********

Suasana di rumah Dinda pagi ini begitu hening. Hanya lalu lalang ibu – ibu tetangga rumah Dinda yang menjadi pemandangannya. Ada yang menyiapkan beras di baskom untuk diletakkan di depan rumah, ada yang sibuk mencari kembang, ada yang sibuk membawakan air mineral gelas untuk tamu – tamu yang datang bergantian di rumah Dinda. Mereka semua berkerudung hitam. Begitu pula dengan para tamu yang datang.

“ Tak usah menangis terus, Putri. Bersabarlah dan berdoalah untuk Dinda. Semoga dilapangkan jalan menuju cahaya-Nya.” Taufan menasehati Putri yang masih menangis terisak – isak di depan jenazah Dinda yang telah terbujur kaku.

“ Putra…ajak adikmu keluar, bila telah selesai membaca surah Yasin. Aku mau membacakannya pula untuk sahabatku, Dinda.”

“ Ya..bang..!” sahut Putra. Mata Putra pun telah sembab sejak tadi shubuh saat mendengar berita bahwa Dinda telah menghembuskan nafas terakhir saat Dinda berada di teras rumahnya.

“ Dinda telah pergi, Putra. Sudahlah..! bawa adikmu keluar segera. Jangan membuat Dinda menjadi lebih sakit dengan tangis Putri. Ikhlaskanlah Dinda pergi meninggalkan kita. Allah telah mempunyai rencana yang indah untuk kita.”

Putra akhirnya mengajak Putri keluar dari ruang keluarga itu.

Taufan langsung membacakan surah yasin untuk sahabatnya dengan khusyu. Dilihatnya wajah Dinda yang telah tertutup kain kerudung tipis berwarna putih, wajahnya sangat cantik sekali saat menghadap Illahi Rabbi. Dengan senyuman yang paling manis dan indah yang pernah diberikannya pada sahabat – sahabatnya semasa hidupnya.

“ Semoga arwahmu di terima di sisi Allah SWT, Dinda…, selamat jalan sahabatku, aku nanti pun akan menyusulmu, terima kasih engkau telah memberikan nasehat kepadaku, tentang kematianmu ini. Agar aku bisa memperbaiki semua ibadahku pada Allah SWT. Dan bila waktunya tiba, aku bisa datang kepada Allah dengan membawa bekal amal ibadahku.”

Haris yang datang terlambat pagi itu segera bergabung pula dengan Taufan untuk membacakan surah yasin sebagai penghormatan terakhir pada sahabat baiknya, Dinda. Sedangkan Asril, tak jelas keberadaannya dimana. Setelah mendengar Dinda menjadi hilang ingatan, Asril menghilang bagai ditelan bumi. Ponselnya pun tak ada satu pun yang bisa dihubungi sahabat – sahabat Dinda dan kedua orang tua Dinda.

**********


“ Allahu Akbar…!!! Astaghfirullah al Adzim….!!” Tiba – tiba saja Dinda terbangun dari tidurnya. Putri, sahabatnya yang sedari tadi tidur di dekatnya menjadi kaget dan terbangun.

“ Kenapa, Din…?? Ada apa ? Mimpi buruk yach ?” tanya Putri. Mata Dinda telah basah dengan butir – butir air mata.

Dinda menangis sekencang – kencangnya, sambil mengucapkan lafadz Allahu Akbar berkali – kali, dipeluknya tubuh Putri erat dan sangat erat. Putri membalas pelukan Dinda dan menepuk – nepuk bahu Dinda, agar Dinda menjadi tenang.

“ Ceritakan padaku, Dinda. Apa yang telah terjadi…? Apa yang telah mengganggu tidurmu tadi…?”

Dinda masih terisak – isak di pelukan Putri.

“ Ya Allah..Put….! Allah telah memperlihatkan masa depanku padaku barusan. Aku telah melihat masa depanku sendiri atas izin Allah, Put. Mengerikan sekali, Putri.”

“ Maksudmu..? masa depan…? Aku tak mengerti, Dinda.” Putri melepaskan pelukannya dan memegang kedua bahu Dinda, tak percaya dengan apa yang telah diucapkan oleh Dinda.

“ Alhamdulillah…Allah menyayangiku. Diberikannya gambaran kehidupanku di masa depan bila aku salah membuat pilihan untuk hidupku, bila aku terlalu mencintai orang lain melebihi kecintaanku pada Allah, Pemilik Langit dan Bumi ini, Put. Aku tak mau mati sia – sia. Aku tak mau mati dalam ketololan, dalam budak cinta dan hawa nafsu dunia. Ya Allah…Alhamdulillah, Engkau masih memberiku kesempatan untuk hidupku malam ini. Kan ku abdikan hidupku hanya untuk beribadah kepada-Mu, Ya Allah….!!”

“ Aku benar – benar tak mengerti, Dinda. Ayolah..kita Sholat Istikharoh…waktu sudah menunjukkan pukul 2 pagi. Tepati janjimu pada Allah sekarang.” Putri menyingkirkan selimut dari tubuhnya dan menarik lengan Dinda untuk mengambil air wudhu.

“ Iya…makasih Putri, masih menjadi sahabatku sampai detik ini, kita jangan pernah berpisah yach…? kecuali Allah yang memisahkan tali persahabatan kita dengan kematian.”

“ Iya, Dinda. Ceritakan selengkap – lengkapnya juga yach apa yang telah kamu alami di mimpimu barusan. Semoga bisa menjadi hikmah untuk hidupku pula.”

“ Amien Ya Allah…..!” Dinda mengamini ucapan Putri, dan mereka berdua pun kompak menuju toilet untuk mengambil air wudhu, menunaikan qiyamul lail.

Subhanallah….Maha Suci Allah.


T. A. M. A. T


**********



Jakarta, 18 Juli 2010

Rabu, 14 Juli 2010

KETIKA CINTA TAK LAGI PUTIH ( Part 1 )

“ Andai saja kisah di masa depan telah diketahui di masa kini, maka penyesalan takkan datang untuk menjerat hati“

“ Dinda…entah kenapa beberapa hari ini aku tak bisa tidur…tersiksa sekali diriku.”
Asril mengutarakan isi hatinya pada seorang gadis cantik yang selama ini dikejarnya.

“ Kenapa tersiksa, Bang…apakah diriku telah mengganggu hidup abang…?”
Dinda memainkan ujung jilbabnya. Sementara Asril terus memperhatikan gadis cantik di hadapannya yang duduk di atas sepeda motor sport kesayangannya.

“ Lihatlah wajahku De…tak ada sedikit rindukah di hatimu ketika aku menghilang dari hidupmu dulu…?” Asril memegang kedua tangan Dinda. Dinda menepisnya halus.

“ Tak enaklah bang…dilihat orang. Sebenarnya abang nih hendak bicara apa sih dengan aku…? Aku harus pergi ke kampus bang. Aku bukanlah orang berada macam abang, aku cuma orang biasa…kalau aku tak hadir ke kelas hari ini, aku telah mengecewakan kedua orang tuaku, bang. Abang cobalah mengerti keadaanku…sejenak.” sahut Dinda.

Asril menghela nafas, menariknya dalam dan membuangnya secepat ia menariknya.

“ Kenapa bang..? ada yang mengusik pikiran abang dengan ucapanku tadi ? maaflah bang…tak bermaksud lisanku melukai perasaan abang. “

“ Aku benar – benar membutuhkanmu De.., tak mengertikah kamu..?” Asril menatap kedua mata Dinda tajam. Dinda merasa risih sekali. Dibuangnya pandangan matanya sejauh – jauhnya, hingga tak bertemu pandangan dengan Asril.

“ Aku mengerti maksud abang…,tapi maaf abang…sekali lagi, aku telah menganggap abang sebagai kakakku sendiri. Sebagai saudaraku sendiri.” Dinda segera turun dari sepeda motor sport Asril. Ditepuknya bahu Asril lembut.

“ Abang…aku tahu apa yang sedang berkecamuk di pikiran dan hati abang tuh, bila tiba saatnya nanti dan Tuhan mempertemukan hati kita, Insya Allah bang…,” ucap Dinda penuh kelembutan.

“ Tapi…De, aku tak bisa melihatmu berdekatan dengan lelaki lain, sekalipun lelaki itu tidak tampan. Hatiku tak bisa di dustai, aku benar – benar menyayangimu…De.” Asril menahan kepergian Dinda. Dipegangnya lengan Dinda. Sekali lagi dinda melepaskan cengkeraman tangan Asril dengan kelembutan.

“ Pikirkanlah De…sekali lagi. Aku tak akan mengecewakanmu…please Dinda.”

“ Abang hanya suka padaku, bukan sayang. Buktikan saja padaku bila benar adanya hati abang padaku seperti itu…dengan perbuatan, bukan sekedar lisan saja. Itulah Lelaki sejati, Bang Asril…., Assalamu’alaikum Bang…!.”

Dinda pergi meninggalkan Asril yang masih tak percaya dengan ucapan yang telah dilontarkan Dinda barusan. Alangkah kejamnya dunia padanya, sehingga seorang gadis cantik menolak cintanya mentah – mentah, sedangkan gadis – gadis cantik lain di kotanya berebutan untuk memikat hatinya, ucap lirih hati Asril.

**********

“ Mengapa kamu bohongi hati kamu sendiri, Dinda…?” Putri mematikan tombol PC di rumah Dinda.

“ Aku tak membohongi diriku sendiri, Put..hanya ragu saja dengan semua ucapan bang Asril. Tidakkah kamu paham tentang perbuatan dia padaku beberapa bulan silam ? ketika aku dekat dengan Syam. Lalu tiba – tiba dia datang dan mendekati aku. Syam mengetahuinya, lalu pergi menjauhiku. Syam tak mau bersaing dengan Asril, bisa kalah total kata Syam. Dan aku dekat dengan bang Asril, tapi…bang Asril bersikap acuh tak acuh, kadang perhatian, kadang pula tak perduli. Hatiku di ombang ambingkan perasaan sukanya. Bang Asril mempermainkan hatiku…karena dia beranggapan aku juga memiliki perasaan yang sama dengannya. Dan ketika, aku merasa yakin dengan semua ucapannya yang manis itu…dia tiba – tiba saja pergi dari hidupku. Entah kemana. Syam pun tak sudi lagi dekat denganku.” Dinda membuka jilbab birunya. Tampaklah wajahnya yang cantik, putih dan bercahaya. Rambutnya yang panjang dan hitam, dibiarkan terurai indah.

“ Ya…benar memang, tapi tak adakah kesempatan kedua kali untuk Asril agar bisa membuktikan perasaan sayangnya padamu, Dinda ?.” Putri mengambil jilbabnya yang diletakkan di atas tempat tidur.

“ Heyy…hendak kemana kamu, baru jam 8 malam koq. Tidak berjamaah dulu disini…?” tegur Dinda dengan seluruh wajah yang telah basah dengan basuhan air wudhu.

“ Iyya…tapi kamu yang menjadi imamnya yach…?” sahut Putri sambil beranjak ke arah kamar mandi yang kebetulan berada di dalam kamar Dinda, untuk mengambil air wudhu.

“ Bolehlah…setelah berjamaah, aku jawab pertanyaanmu itu.” Dinda tersenyum manis.

Merekapun menunaikan Sholat Isya berjamaah dengan khusyu.

“ Jawab dong pertanyaanku, Dinda. Tak sabar rasanya menanti jawabanmu.” Putri duduk di pinggir tempat tidur.

“ Putri oh Putri…mirip sekali kamu dengan Asril…sangat tak sabar, hehehhe….,” Putri mencubit lengan sahabatnya berkali – kali. Dinda mengaduh. Dipukulkan wajah Putri dengan bantal kesayangannya. Putri pun tertawa geli. Mereka akhirnya terbaring di tempat tidur, saling berhadapan wajah.

“ Nginap disini sajalah Put…lagi pula kan besok hari minggu, kita bisa bicara banyak.” bujuk Dinda.

“ Bicara banyak tentang Asril maksud kamu, Dinda…? Atau mau bicara tentang abangku saja…? Putra.” goda Putri.

“ Hehehe…memangnya kenapa dengan Putra…? Ada – ada saja kamu. Dia udah aku anggap sebagai abangku sendiri. Tak lebih, Put.” Dinda mengacak – acak rambut Putri.

“ Huft…Putra pasti kecewa bila mendengar ucapanmu tadi. Abangku telah jatuh hati padamu, Dinda. Sudah lama sekali. Kamu saja yang tak pernah memperdulikan perhatiannya selama ini. Mata hati kamu sudah terfokus dengan kehadiran Asril khan…?” Putri merapikan rambutnya yang pendek. Wajahnya yang bulat dan dengan kedua bola mata yang bulat pula menatap wajah Dinda lekat.

“ Hmm..tak benar juga koq, Put. Aku tahu koq abangmu menaruh hati padaku. Tapi, aku tak tahu kenapa aku tak bisa memiliki hati yang sama dengan Putra.” Jawab Dinda. Matanya menerawang ke langit – langit.

“ Hanya ada Asril sajakah di hatimu sampai detik ini…?. Hmm…aku menduga kamu pasti jatuh cinta lagi pada pesona cowok itu, bukankah begitu sahabatku…?” Putri menarik selimut dan menutupi tubuhnya dengan selimut tebal berwarna merah muda sama seperti warna spreinya. Dinda ikutan menarik selimut, meminta bagian dari Putri.

“ Tidak juga...! aku mau konsultasi dahulu pada Pencipta-Ku dalam memutuskan masalah ini, Put.. Dialah Yang Maha Mengetahui segalanya yang terjadi dan yang akan terjadi di masa depanku nanti. Aku tak mau membuat pilihan yang salah untuk hidupku, meskipun itu hanya sekedar dekat kembali dengan Asril. Aku wajib mempertanyakan keragu – raguanku tentang Asril pada Penguasa Langit dan Bumi ini. Itu lebih baik untukku dari pada tidak melakukannya sama sekali. Karena, kita memang bisa belajar dari kesalahan masa lalu, tapi alangkah baiknya bila kita tidak melakukan kesalahan.” urai Dinda.

“ Wahh…wahh…! tidak mengira dech aku punya sahabat yang baru semester 1 tapi udah sebijak ini. Salut…salut !” giliran Putri sekarang yang mengacak – acak rambut Dinda.

Dinda membalasnya dengan mengusap – usap wajah Putri dan menggelitiki pinggang Putri. Putri tertawa – tawa kegelian.

“ Tidur yukk...jam 2 pagi nanti aku harus bangun, konsultasi sama Allah SWT, pilih Asril atau Putra.” ajak Dinda.

“ Aku temani yach…Sholat Istikharohnya. Aku bantu kamu juga, semoga kamu dapat pilihan yang terbaik. Bila keduanya bukan pilihan terbaik..khan itu adalah jawaban Allah.”

“ Alhamdulillah…kamu memang sahabat yang baik.” Dinda tersenyum manis pada Putri.

“ Met bobo…Dinda.”

“ Met bobo…Putri, jangan lupa baca doa sebelum tidur. Semoga Syaithon tidak mengganggumu dan malaikat menjagamu sampai kamu terbangun dari tidur.”

“ Amiennnn…..,” Putri memejamkan kedua matanya, begitu pula dengan Dinda.


Bersambung yach fren………!!


Jakarta, 11 Juli 2010

“ Based on True Story From My Best Friend “

Senin, 05 Juli 2010

DI SEBUAH HALTE


Hujan tiba – tiba saja mengguyur senja yang masih cerah di kota yang terkenal sangat padat penduduknya itu. Keramaian di jalanan menjadi terhenti, semua orang berlari – lari mencari tempat berteduh. Yang baru turun dari bus kota pun berhamburan mencari tempat berlindung, pengendara motor pun mulai memadati bahu sebelah kiri jalan untuk berhenti dan mencari tempat untuk berteduh, alhasil jalanan sore ini menjadi macet dalam sekejap saja. Klakson mobil dan bus kota sangat berisik sekali mewarnai suasana kota yang diguyur hujan, dipayungi dengan awan gelap yang tersenyum bahagia di langit sana.

“ Ciiittttttt……Brakkkk…!!”

Sebuah sepeda motor tersungkur cepat di depan sana tanpa ampun, sebuah mobil sedan keluaran terbaru telah berhasil meredam kecepatan pengendaranya di perempatan yang terbilang cukup rawan kecelakaan itu. Pemandangan sore itu sangatlah mengharukan, dimana pengendara motor dan penumpangnya harus mengalami cidera yang tidak ringan, dan untungnya saja pengemudi mobil sedan itu masih memiliki belas kasihan dan rasa tanggung jawab, membawa kedua korban segera ke Rumah sakit. Jalanan menjadi tambah macet dan sudah pasti peristiwa itu menjadi tontonan banyak orang yang sore ini sedang berteduh.

“ Buruan donk Fur…cari tempat neduh, udah basah nih…!”

“ Iya..iya..ini juga mau cari tempat. Heran dech cewek bawel amat.”

“ Apa tadi loe bilang ? cowok juga ribet. Huhhh…basah banget nih baju gue. Ngebut keq biar cepat !”

“ Udahlah…cengeng banget dech loe...”

“ Alhamdulillah…akhirnya, kita bisa sampai juga.”

“ Belum sampailah di tempat tujuan, ini khan baru setengah perjalanan, gimana sih loe..? jadi tulalit ya gara – gara hujan…?”

“ iyya…! sumpah, gue mati gaya Fur kalo kena hujan. Bawaannya ribet.”

“ Ya udahlah sana…mojok noh di tiang halte, jangan dekat – dekat cowok, tar digodain…gue yang ribet.”

“ Jiahhh…siapa yang mau godain gue..? yang ada juga godain loe kali tuch…!”

“ Yee…emang gue cowok apaan..? loe khan cewek, gimana sih ? cewek aneh loe.”

Furqon segera memarkir sepeda motornya dengan cekatan di pinggir halte. Eka segera mencari tempat yang aman di pojok halte. Sementara angin terus bertiup kencang dan hujan pun belum mau menghentikan siramannya yang benar – benar lebat.

“ Dingin banget Fur.., kaos, celana jeans gue basah, tas gue juga, hikss…,” Eka berdiri di samping Furqon.

“ Cuekin lah Ka…berdoa aja, hujan segera reda, kita lanjut lagi.”
Furqon menyalakan sebatang rokok dengan korek api gasnya di depan wajah Eka.

“ Yee..mau bakar muka gue ya. Iseng banget loe.”

“ Biar muka loe anget…dan loe gak bawel, hahahha….,”

Eka cuma cemberut. Semua orang yang ada di halte itu tak ada satupun yang memperhatikan tingkah mereka berdua. Semua asyik dengan kesibukan masing – masing, ada yang makan, merenung, membaca koran dan berbicara. Bahkan ada juga yang bernyanyi, iya…pengamen ibukota yang ikutan berteduh juga.

“ Gue pengen pipis dech Fur…!”

“ Astagfirullah…, ribet banget bawa cewek kayak loe, Ka.”

“ Ehhh…gak jadi dech.., gitu aja bete.”

“ Bukan bete, gue bingung mau ke toilet mana. Jangan sensi gitu lah.”

“ Makin gede hujannya Fur.” Eka menyeka wajahnya yang basah oleh cipratan air hujan dari atas halte. Bocor ternyata atap halte.

“ Iyya..kenapa lagi ? loe laper ? noh beli bakpau…somay keq.”

“ Ogah ahhh…sambil berdiri gitu makannya?” tapi iyya juga nih, gue laper.”

“ Hiyy…gak ada indah – indahnya loe, Ka, makan sambil berdiri.”

Eka terdiam. Matanya menjelajah kesana kemari, entah apa yang dicarinya. Lalu Eka mengeluarkan air mineral dari dalam tas ranselnya. Diteguknya, tanpa menawarkan Furqon.

Furqon cuma melirik saja. Eka tersenyum kecil. Puas sepertinya meledek Furqon.

“ Loe bawa minum cuma satu ?” tanya Furqon.

“ Iyya, kenapa ? beli aja sana kalau haus. Ogah ya minum sebotol berdua sama loe.”

“ Yee…siapa juga yang mau minta air loe, gue beli ntar. Loe masih dingin, Ka ?”

“ Masih. Kenapa ?”

“ Gak apa – apa. Sini deketan berdirinya. Tar loe disenggol orang, ngambek lagi.”

“ Basi loe. Bilang aja pengen deket gue. Eh..kita kesana yukk..yang agak enggak banyak kena cipratan air hujan. Gue udah menggigil kedinginan nih.” Eka menarik kaos Furqon yang udah basah, begitupun sweater Furqon.

“ Hahahay..baju satu, basah di badan nih…,” teriak Eka.

“ Jiahh…kayak loe gak aja. Mau kemana sih kita pindah – pindah ? udahlah disini aja. Gue nyaman disini.” sahut Furqon.

“ Kesitu aja…lihat tuch…bocor atapnya. Tambah basah Fur, kasian dikit keq sama gue…,” Eka merajuk. Furqon akhirnya mengalah. Beranjak dari tempatnya berdiri, melangkah menuju ke tengah – tengah kerumunan orang. Saking semangatnya, Furqon berjalan menyenggol bahu seorang laki – laki muda seumuran dengannya. Upss…..!! gawat, bisa panjang urusan nih…, gumam Furqon.

Lho koq…?? Laki – laki muda itu hanya diam saja. Tak ada respon apa – apa ke Furqon. Furqon bingung. Begitupun Eka.

“ Maaf ya Bang…tak sengaja saya.” ucap Furqon kepada laki – laki muda yang berperawakan tinggi besar itu.

Laki – laki itu hanya diam saja memandangi wajah Furqon. Kosong tatapannya. Seperti sedang melamun.

“ Fur…koq dia gak marah ya ? terus kenapa juga dia gak sahutin loe ya ?”

“ Gak tau deh Ka. Aneh memang. Gue ngomong, tapi gak bereaksi. Mungkin dia udah maafin gue kali.”

“ Ka…lihat tuh..siapa yang datang.” Furqon menunjuk ke arah pinggir halte. Tempat Furqon memarkir sepeda motornya.

“ Aris…??? Ngapain dia disini ?” Eka terperanjat.

Furqon menjauh dari samping Eka. Membuat jarak.

“ Norak loe, tetap disini aja. Dekat gue. Gak ada yang perlu dibahas sama dia soal keberadaan kita disini.” Eka memberi ultimatum.

“ Gak enak rasanya. Nanti salah paham dia. Bisa fitnah gue, Ka.”

“ Apa yang dia lihat sore ini gak sebanding dengan apa yang telah dia perbuat sama gue, Fur.”

Ais berjalan menuju halte, tanpa memperhatikan keberadaan Eka dan Furqon di tempat itu. Memilih tempat di sudut halte. Lalu mengeluarkan ponsel dari saku celananya.

“ Gue tunggu di halte yang gue sms ke loe. Pesanan loe udah siap. Gue gak mau menunggu lama.” Aris berbicara singkat, entah dengan siapa.

Eka dan Furqon hanya mengawasi gerak- gerik Aris.

“ Tumben…air mata loe gak tumpah lihat wajah dia ? di kampus nyebut nama dia aja, air mata luber terus. Hehhehe…., “ Furqon meledek Eka.

“ Udah kering sekarang, mata airnya.” sahut Eka.

Hanya 5 menit Aris menunggu. Seorang laki – laki berumur kurang lebih 35 tahunan menghampirinya. Seperti turun dari langit. Tidak diketahui dari mana datangnya. Mereka bersalaman, dan laki – laki berkulit gelap itu menyerahkan sebuah kantong plastik hitam dan Ais memberikan sebuah kantong plastik berwarna hitam pula. Mereka bersalaman kembali. Lalu tanpa banyak bicara mereka berdua pergi meninggalkan halte ke arah yang berlawanan.

Eka hanya memperhatikan kepergian Ais yang samar – samar menghilang dari pandangannya. Furqon menatap lekat wajah gadis manis di sampingnya.

“ Paham loe profesi baru dia sekarang ?” tanya Furqon.

“ Sangat. Keputusan gue benar mengakhiri hubungan dengan dia. Dugaan gue yang salah.” Jawab Eka.

“ Gak salahlah Ka. Loe menduga dia mendua dengan cewek lain khan..? padahal dia mendua dengan psikotropika. Sama saja khan topiknya tetap mendua. Sama – sama nelangsa hati loe. Maaf…bila gue keterlaluan memvonis.”

“ Enggak sama sekali. Makasih pernah menyuruh gue berfikir rasional kala itu.”

“ Yupz…tetap Furqon sebagai teman yang independen donk….”

“ Beuhhh…gaya loe tuh ya…!” Eka tersenyum simpul.

Hujan telah mengguyur selama hampir 1 jam lamanya. Suasana menjadi tambah dingin. Angin bertiup kencang, dan langitpun menjadi tambah gelap. Awet banget hujan malam ini. Tak ada satu orang pun yang beranjak meninggalkan halte itu. Mereka masih setia menunggu hujan reda, walaupun kaki mereka pegal dan pakaian mereka telah basah diterpa air hujan.

Seorang gadis manis berambut panjang di pojok sana tiba – tiba menangis terisak – isak sambil memegangi ponsel di telinganya.

“ Aku gak bisa seperti ini terus - menerus, maafkan aku…aku harus memilih jalan ini. Aku udah bulat tekad. Iyya…aku pasti baik – baik saja. Aku yang membuat pilihan untuk diriku sendiri. Karena aku ingin yang terbaik buat hidupku. Lupakan aku…aku masih punya banyak waktu untuk memulai hidupku yang baru. Iyya…aku pasti bisa tanpa kamu. Aku akan belajar bisa. Maafkan aku…pergi dengan cara seperti ini. Aku mencintai laki – laki lain yang seusia denganku.”

Furqon dan Eka sekali lagi melihat kejadian yang sangat mencengangkan matanya. Gadis manis itu baru saja dikenal Furqon…mahasiswi Tehnik Sipil semester 4 dikampusnya. Furqon mengenalnya pun tanpa sengaja karena gadis itu satu kelas dengan sobat baiknya.

“ Fur…sana samperin tuh Diana….dia mungkin butuh tempat buat menyelesaikan masalahnya !”

“ Biar aja dia menyelesaikan masalahnya sendiri. Gue gak mau ikut campur. Biar belajar dewasa dia.” Furqon mengeluarkan bungkus rokok dari dalam saku celananya. Dinyalakan sebatang. Lalu dihisap dan dikepulkan asapnya perlahan.

“ Grogi loe lihat dia..? udahlah Fur..dari tadi koq merokok terus, berhenti dulu keq.” Eka mengingatkan Furqon.

“ Pulang Yukk…!” Eka mencubit lengan Furqon. Furqon hanya melirik sesaat.

“ Masih hujan Eka…nanti loe sakit dan pastinya kita berdua basah kuyup.”

“ Emang udah basah khan Fur…pulang yukk…? kita gak usah jenguk Fitria deh, next time aja. Gue udah pegel Fur…berdiri disini.”

Tiba – tiba saja sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam metalik berhenti didepan halte itu. Dari dalam mobil keluar seorang laki – laki gagah, eksekutif muda, penampilannya sangat rapi dan tubuhnya pun harum semerbak. Laki – laki itu menghampiri gadis manis bernama Riana yang masih terisak – isak di sudut halte.

“ Ayoo…ikut aku. Gak usah macam – macam, kembali ke Apartemen kamu. Tak ada yang perlu di ubah. Kamu tetap bersamaku. Ini Kota besar. Jangan sampai kamu membuat keputusan yang salah.” Laki – laki itu lebih pantas dipanggil Ayah atau Om oleh Riana. Tapi, sepertinya laki – laki itu bukanlah Ayah atau Om untuk Riana. Dari cara laki – laki itu berbicara dan bersikap pada Riana, orang lain bisa mendapatkan jawabannya. Semua orang yang ada di halte itu hanya menonton saja. Tanpa banyak kata.

“ Fur…kenapa diam aja ? gak mau nolongin Diana ?” Eka mengguncangkan tubuh Furqon.

“ Bukan tidak mau menolong dia…dia yang telah membuatkan masalah untuk hidupnya sendiri, biarlah dia selesaikan sendiri. Kecuali dia datang ke gue untuk meminta pertolongan. Itupun cuma sumbang saran. Mengerti khan ?.”

Furqon membuang rokoknya ke bawah. Diinjaknya dengan kakinya untuk mematikan api rokok itu.

“ Permintaan loe gue kabulkan…ayooo kita pulang, gue anter loe sampe rumah. Tapi, gue gak bisa mampir ya, langsung cabut lagi. Udah ngantuk berat nih.”

“ Wahh..makasih banget Fur…kebetulan hujan udah mulai reda.” Eka mengikuti langkah Furqon dari belakang. Furqon menyalakan starter motornya dan Eka naik ke atas motor Furqon.

“ Pegangan donk Ka. Tar jatuh gue gak tanggung ya.” Furqon menggoda Eka.

“ Halah…tadi juga gak pegangan koq. Kenapa sekarang harus pegangan sama loe ?” Eka mencubit bahu Furqon. Lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang Furqon.

“ Yuhuyy….asyik juga negosiasi dengan Eka. Mantab deh malam ini.” Furqon tersenyum – senyum kegirangan.

***************

“ Alhamdulillah…akhirnya kamu siuman juga sayang.” Ibunda Eka mencium pipi Eka lembut.

Eka membuka kedua matanya perlahan. Lalu melihat sekeliling. Ada yang dicarinya.

“ Cari Furqon ya…?” tanya Ibunda Eka.

Eka mengangguk.

“ Furqon gak apa – apa sayang, hanya luka di kaki dan tangannya saja sedikit. Furqon juga sama seperti kamu, koma selama 1 jam lebih. 10 menit lalu Furqon udah siuman.

“ Eka kenapa disini, Bunda ?” tanya Eka bingung.

“ Kamu boncengan motor sama Furqon dari kampus, mau jenguk Fitria ke Rumah Sakit ini. Eh…diperempatan dekat Halte busway, Furqon menabrak mobil sedan mewah milik seorang pengusaha yang memang membawa kendaraan dengan kecepatan yang tinggi. Pengusaha itu membawa kalian berdua ke sini.

“ Sekarang bapak itu mana, Bunda ?” tanya Eka sambil meringis menahan sakit.

“ Katanya ada urusan sebentar, mau jemput putrinya yang kabur dari Apartemen, dan sekarang ada di halte tempat kalian kecelakaan. Sebentar lagi dia pasti kesini untuk memastikan keadaan kalian baik – baik saja. Memangnya kamu kenal dengan Bapak itu ?” Bunda mengusap kening Eka.

“ Owhhh…tidak Bunda. Tidak kenal.” Eka tersenyum kecil.

Ibunda Eka menjadi bingung melihat sikap putrinya yang baru saja siuman dari koma, tadi pun saat Furqon siuman, menanyakan Eka dan bapak pengusaha itu. Setelah diberi tahu, Furqon pun tersenyum kecil tidak beda dengan Eka.


****** TAMAT ******


Tangerang, 5 Juli 2010

Rindu Semalam...

Ku kenal tempat ini,
dimasa kecilku,
tertidur lelap dalam dekapanmu, dalam damai...dalam bahagia.
Yang kurasa hanya itu.

Kurasakan tempat ini,
tak ada kesakitan, tak ada rintihan kepiluan.
Tak ada kesedihan, hanya ada ketenangan hati.

Jendela yg terbuka lebar, pintu kamar yg terbuka membiarkan aku terlelap diranjang besi yg telah tua dan usang.
Tak ada yg bersuara sedikitpun, apalagi mendengkur,

Kemana pemilik rumah ini? Aku tak menemukannya, aku rindu dengan wajahnya, dengan sosoknya.
Ku terjaga dan berlari kesekeliling mencarinya, tak ada siapapun.

Aku rindu sekali,
ingin bertemu dan mencium tangan serta kedua pipinya, memainkan rambutnya yg panjang sepinggang dan tlah memutih, berbalut kebaya kembang berwarna hijau dan kain selutut.

Kukirimkan Al-Fatihah saja untukmu...semoga rinduku tersampaikan dengan indahnya padamu.
Aku benar-benar rindu.

" For my grandmother, love u n miss u"


GiezTofa on 100610

Sabtu, 22 Mei 2010

Ar - Rahmaan.....Ar - Rahiim.....


Tidak perlu meminta,
Dia pasti memberi,

Tidak usah mengeluh,
Dia pasti sudah mendengar keluhan,

Tidak perlu meratap-ratap diberi kemudahan,
Dia pasti bermurah hati menghadirkan itu,

Tak usah memohon untuk disayang dan dicintai,
Dia pasti tlah melakukan itu stiap saat.

Pantaskah kita hanya menerima uluran dan pemberian dari Dia tanpa mengucapkan sedikit rasa terima kasih walaupun hanya 5 kali dalam sehari ?

Bukankah itu jumlah yang sangat sedikit sekali buat kita, bila dibandingkan jutaan lebih nikmat yang tlah Dia limpahkan stiap detiknya untuk kita.

Kepada siapa kita akan Tunduk dan Patuh bila bukan kepada Dia,
satu-satunya Pemilik Hidup dan Mati kita ?

Karena Hanya Dialah tempat kita berawal dan kita kembali untuk menghadap-Nya dengan sgala perhitungan yang seadil-adilnya...



" GiezTofa 190510 "

Teduh.....


 Berjalan menyusuri pantai....dengan ombak yang tenang,

Ku hentikan langkah.

Lihatlah aku berada disini, padahal beberapa menit lalu baru saja ku menyapa sahabat - sahabat terbaikku.

Hanya memandang jauh ke depan, menatap takjub pada kemegahan malam ini.

Udara yang dingin tak ku hiraukan, ku bentangkan sajadah hijauku...di atas pasir - pasir pantai.

Lihatlah, hanya aku saja disini.
Tak ada siapapun.

Diatas sajadah, aku duduk bersila...mengagungkan Nama-Mu Ya Rabb...
Nama-nama indah-Mu...
Diiringi irama deburan ombak pantai yang bergemuruh, bisik angin yang berhembus kencang...
Menatap luasnya ciptaan-Mu dan cerahnya lazuardi yang memayungi...

Teduh rasanya disini...
Nyaman rasanya berada disini...
Dan damai di hati saat tak ada seorangpun yang mengganggu saat aku bersama-Mu...

Memuja dan Menemui-Mu kapan saja dan dimana saja, dalam keramaian, dalam keheningan...

Aku ingin tetap Mencintai-Mu selama - lamanya...seberapapun sulitnya aku untuk berada disisi-Mu...


" GiezTofa 210510 "

Saat Bu Direktur Jadi Pembantu

Saat Bu Direktur Jadi Pembantu

Sedekah dengan Uang Terakhir (Kisah Nyata)

Sedekah dengan Uang Terakhir (Kisah Nyata)

Fans